Menyadrani Istana Dalam Loka

Siang ini panas terasa sangat menyegat di Kabupaten Sumbawa, beberapa anak remaja hilir mudik di samping masjid Agung Nurul Huda, ada yang membawa Sajadah, buku, dan sebagian membawa map yang entah apa isinya. 

Terik ini sangat terasa, sehingga si kecil yang kubawa merengek minta beli es krim, "Bapak Panas, Beli Eskrim dulu," keluhnya, untung ada penjual es krim  keliling yang lagi mangkal di sekitaran pelataran Masjid. Setelah es krim ku beli, kuajak istri dan anakku menepi sambil berkunjung ke Istana Dalam Loka, Istana Kerajaan Sumbawa yang berdampingan dengan masjid Nurul Huda Sumbawa.

Istana ini dibangun bangun pada masa pemerintahan sultan Muhammad Jalaluddin Syah III. Pada Zaman dahuluIstana Dalam Loka tersebut digunakan sebagai pusat pemerintahan Summbawa sekaligus kediaman bagi sultan beserta dengan anggota kerajaan. Namun kini, istana tersebut sudah menjadi cagar budaya

Pembangunan Istana Dalam Loka di masa lalu tak sembarangan, ada kebiasaan dan budaya yang mengandung filosofi adat yang dianut untuk membangun tempat ikonik itu. Filosofi itu adalah ‘Adat berenti ko syara, syara barenti kokitabullah (Adat bersumber kepada Syariat Islam, dan syariat bersumber dari kitabullah/Al-qur’an)

Artinya, semua aturan adat istiadat hukum pemerintahan, maupun nilai-nilai dalam sendi kehidupan masyarakat Tau Tana Sumbawa harus bersemangatkan pada syariat Agama Islam. Jadi, tidak heran apabila banyak hal aturan dalam Islam yang diadopsi dalam pembangunan istana ini. 

Istana Kerajaan Sumbawa memiliki luas 904 meter persegi, dibangun selama sembilan bulan, dan bertiangkan 99 tiang penyangga, seperti jumlah Asma'ul Husna. dituturkan pula bahwa istana itu memiliki 17 anak tangga, sama dengan jumlah rakaat dalam salat lima waktu. 

Azanpun berkumandang, kuajak mereka untuk bergegas ke Masjid Nurul Huda yang terlatak di samping istana Dalam Loka sebelum kembali ke rumah. Karena penanaman akidah, akhlak yang baik serta pembiasaan ibadah harus dimulai sejak dini.